• 0853-2059-5056
  • office@assyifapeduli.org
  • Subang, Jawa Barat, Indonesia
Edukasi ZIS
Dakwah Pasca Kemerdekaan Indonesia

Dakwah Pasca Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan Republik Indonesia tidaklah mudah dalam meraihnya. Sejak 1 Januari 1800 hingga sekitar tahun 1942, Sejarah mencatat wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke berada dalam kekuasaan Belanda, sebuah negara kecil di Eropa. Saat itu, Belanda menyebut Indonesia sebagai Nederlands Indie (Hindia Belanda) menjadi provinsi jauh Belanda.

Pada era kerajaan, para raja yang ditaklukan di berbagai daerah, statusnya diturunkan menjadi bawahan Negeri Belanda dengan pangkat Regen atau Bupati. Mereka diawasi oleh para residen yang berada di bawah control gubernur general sebagai pemimpin tertinggi penguasa kolonial di negeri jajahan. Tidak ada satu pun residen atau gubernur jendral di Hindia Belanda yang merupakan pribumi, apalagi beragama Islam. Semua pemimpin yang diangkat oleh Ratu Belanda merupakan orang Belanda. Maka, periode inilah yang sesungguhnya disebut periode Kolonial (penjajahan) dalam Sejarah Indonesia

Melihat kondisi ini, para ulama dengan tegas menyebut bahwa wilayah kepulauan Indonesia dikuasai oleh penjajah asing dan kafir. Penjajahan itu menyebabkan taraf hidup masyarakat pribumi merosot sangat tajam hingga bertahun-tahun bahkan berabad-abad. Oleh karena itu, umat muslim bersiap untuk angkat senjata dan melawan. Perang terbesar terjadi di Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1925-1930). Dalam perang ini, sekitar 200 ribu rakyat Jawa gugur dan Belanda kehilangan 8.000 tentaranya. Kemudian meletuslah perang yang dipimpin oleh ilama, kyai, dan tokoh Islam di berbagai wilayah lainnya.

Setelah terjadi perlawanan-perlawanan ini, sekitar abad ke-20, lahirlah muslim generasi baru di mana mereka bermetamorfosis dari perlawanan fisik menjadi perlawanan dengan menggunakan ilmu pengetahuan. Sejarah mencatat, lahirnya Sarekat Islam pada tahun 1911 yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto memiliki gagasan-gagasan revolusioner dan menjadi cikal bakal lahirnya gerakan lain untuk terbebas dari kesengsaraan akibat kolonialisme.

Di Jogja lahir Muhammadiyah (1912). Di Bandung lahir Persatuan Islam (1923). Di Surabaya lahir Nahdlatul Ulama (1926). Di Sumatra lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi). Di beberapa tempat lain pun lahir gerakan-gerakan serupa. Mereka semua memiliki cita-cita yang sama yaitu bebaskan Indonesia dari Belanda!

Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia

Sahabat, seandainya kemerdekaan Indonesia tidak diperjuangkan para ulama, kyai, santri, dan umat Islam, sejak awal kolonialisme, tentu saja tidak aka nada jejak-jejak Islam yang nyata dalam pendirian negara ini.

Melalui partai-partai Islam seperti Masyumi, SI, NU, Perti, dan Politisi Muslim Independen lainnya, umat Islam memiliki andil dan kekuatan yang kemudian mengajukan proposal tentang Islam sebagai dasar negara Indonesia dalam sidang-sidang Majelis Konstituante tahun 1956-1959. Namun, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, begitu terasa usaha-usaha menyingkirkan para pejuang Islam dari kehidupan bernegara.

Akan tetapi, kondisi yang tersudut tidak menjadikan para pejuang muslim kehilangan semangat. Bahkan mereka tetap menunjukkan kreatifitas dan vitalitasnya untuk kemaslahatan umat. Maka, ada berkah di balik usaha-usaha penyingkiran pejuang Islam di panggung politik saat itu. Mereka kembali kepada hal yang paling dasar dan utama, yaitu dakwah.

Menjelang kemerdekaan, hampir setiap pemimpin Islam disibukkan dengan pemikiran-pemikiran luar biasa. Seperti bagaimana cara Indonesia terbebas dari Belanda, mempersiapkan negara baru agar tidak keluar dari jalur Islam, dan pemikiran berdakwah lainnya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Walau berbeda bidang, namun semua pemikiran ini Adalah jihad nyata mereka yang sesungguhnya berbentuk dakwah.

Tokoh-tokoh politik Islam yang sempat disingkirkan, akhirnya kembali bangkit dengan terjun ke dunia dakwah. Kali ini mereka mendirikan perguruan-perguruan tinggi Islam yang kemudian ada di mana-mana. Ribuan cendekiawan muslim lahir dan menempati posisi-posisi penting di jajaran birokrasi pemerintahan. Islam pun semakin diterima dan menjadi agama Mayoritas di Indonesia.

Pesantren-pesantren diperbaiki manajemen dan performanya untuk menyaingi lembaga-lembaga pendidikan non-Islam dan sekuler. Masjid-masjid terus disasar untuk dihidupkan. Lembaga-lembaga dakwah pun berdiri di mana-mana, bahkan sampai menjangkau pelosok-pelosok negeri.

Puncaknya, para cendekiawan Muslim berkumpul dan menampilkan kekuatan mereka dalam bentuk berbagai ikatan kelembagaan. Penggunaan jilbab bagi muslimah yang sebelumnya sangat terbatas, sejak tahun 1990-an dapat secara bebas digunakan akibat desakan dari intelektual-intelektual Muslim baru ini. Program studi Syariah kini menduduki posisi elite di sejumlah Perguruan Tinggi “Umum”.

Para cendikiawan muslim ini tersebar dalam berbagai keahlian yang masuk ke hampir semua sektor kehidupan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai tampil menjadi lembaga favorit dan unggulan. Maka, sejak tahun 70-an Islam tidak lagi diekspresikan secara sembunyi-sembunyi. Secara performa, Islam telah kembali menjadi agama mayoritas bahkan hingga kini menjadi identitas bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu, kita patut bersyukur karena saat ini bisa menikmati hasil perjuangan para pahlawan dan hidup tanpa penindasan kolonialisme. Kemerdekaan ini tentunya merupakan berkah dari Allah SWT bagi umat Islam yang telah berjuang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *